Cara mudah mempelajari fikih adalah dengan mempelajarinya melalui fikih madzhab. Bahkan yang terbaik adalah mempelajari fikih madzhab di negeri masing-masing, seperti fikih Syafi’i untuk di negeri kita. Jika cara ini yang ditempuh, maka akan mudah bagi kita untuk mengajarkan fikih di tengah-tengah masyarakat dan tidak terlalu berseberangan. Namun bukan berarti kita mesti fanatik, tidak demikian. Yang benar kita ambil ketika bersesuaian dengan dalil dan yang berseberangan dengan dalil, kita tinggalkan.
Ketika ada yang menanyakan pada Syaikh Sholih Al Fauzan mengenai kitab fikih apa yang pantas diajarkan di negerinya, sedangkan masyarakatnya bermadzhab Maliki. Syaikh hafizhohullah menjawab, ajarkan fikih Maliki, sesuai fikih yang berlaku di tengah-tengah mereka. Demikian disampaikan secara makna dari Kajian Syaikhuna, Syaikh Sholih Al Fauzan, ketika membahas kitab Umdatul Fiqh 23/03/1434 H di Jami Mat’ab Malaz Riyadh KSA.
Kami pun mendapatkan nasehat yang sama dari Syaikh Sholih Al ‘Ushoimi, ulama yang terkenal dengan banyaknya sanad sampai dikatakan ia punya 1000 guru, beliau nasehatkan untuk menghafalkan berbagai kitab matan di dalamnya terdapat matan akidah, tauhid, ushul fikih, ushul hadits dan ushul tafsir. Beliau punya list (daftar) kitab-kitab yang sebaiknya dihafal. Padahal beliau adalah ulama Hambali, namun beliau katakan di catatan kaki, untuk kitab fikih disesuaikan dengan madzhab di negeri masing-masing. [Dauroh Muhimmatul ‘Ilmi di Masjid Nabawi selama 8 hari, 5-12 Rabi’ul Awwal 1434 H]
Ini berarti di negeri kita yang sudah ma’ruf dengan madzhab Syafi’i, maka sebaiknya yang dihafalkan dan diajarkan adalah fikih Syafi’i. Tidak usah pelajari yang tebal-tebal dahulu (seperti Al Umm dan Al Muhaddzab karya Asy Syairozi atau Syarh Al Muhaddzab karya Imam Nawawi yang dilanjutkan As Subkiy dan Syaikh Muhammad Al Bakhit), kuasai terlebih dahulu yang ringkas-ringkas (matan) mulai dari matan Abi Syuja’ dan matan Syafinatun Najah. Namun dengan catatan dibaca di depan guru yang lebih memahaminya. Setelah dua kitab tadi, baca kitab lanjutan seperti Fathul Qorib, Al Iqna’ dan Kifayatul Akhyar yang merupakan penjelasan dari kitab Matan Abi Syuja’. Dengan mengambil cara seperti ini, maka kita akan mudah memahami fikih masyarakat sekitar kita.
Kita menganjurkan mempelajari fikih madzhab Syafi’i bukan berarti kita ingin taklid buta, namun sebagai jalan untuk belajar. Yang keliru dari madzhab tersebut, tinggal diluruskan. Inilah yang ditempuh oleh para ulama, mereka beranjak dari mempelajari fikih madzhab di negerinya, sebagaimana praktek di Kerajaan Saudi Arabia. Lihat saja Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, dan juga saat ini Syaikhuna Sholih Al Fauzan (yang sedang mengajarkan fikih Al Muntaqo karya Jadd Ibnu Taimiyah dan Umdatul Fiqh karya Ibnu Qudamah), ulama-ulama besar dan senior seperti ini menganjurkan mempelajari fikih madzhab seperti itu. Maka ini juga nasehat untuk para da’i Ahlus Sunnah di negeri kita agar bisa memperhatikan hal ini.
Namun bagi yang mempelajari fikih madzhab, harus memperhatikan rambu dalam bermadzhab:
Rambu pertama: Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.
Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.
Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.
Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:
1- Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
2- Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
3- Membela madzhab secara over-dosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
4- Mendudukkan imam madzhab seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [1]. (Lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 501-503)
Semoga Allah memberikan taufik dan kemudahan bagi kita untuk mempelajari ilmu diin ini karena kebahagiaan di dunia dan akhirat hanya diraih melalui ilmu agama. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Baca pula artikel menarik di Rumaysho.com: Wajibkah Kita Bermadzhab?
—
Riyadh-KSA, 20 Rabi’ul Awwal 1434 H
[1] Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ
“Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 35: 121)